ISD BAB X

/
0 Comments


BAB X 

AGAMA DAN MASYARAKAT 


A. Pengertian Agama Dan Masyarakat 


Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan (Soerjono Soekanto, 1983). Sedangkan agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut. Sedangkan Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2000, kira-kira 86,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 5,7% Protestan, 3% Katolik, 1,8% Hindu, dan 3,4% kepercayaan lainnya.

Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya”. Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.

Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia. 

Berdasar sejarah, kaum pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan kultur di dalam negeri dengan pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan kultur di Indonesia. 

Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)”. 

Islam : Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, dengan 88% dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam. Mayoritas Muslim dapat dijumpai di wilayah barat Indonesia seperti di Jawa dan Sumatera. Masuknya agama islam ke Indonesia melalui perdagangan. 

Hindu : Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan Majapahit. 

Budha : Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba pada sekitar abad keenam masehi. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu. 

Kristen Katolik : Agama Katolik untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada bagian pertama abad ketujuh di Sumatera Utara. Dan pada abad ke-14 dan ke-15 telah ada umat Katolik di Sumatera Selatan. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian diikuti bangsa Spanyol yang berdagang rempah-rempah. 

Kristen Protestan : Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC), pada sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang mengutuk paham Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di Indonesia. Agama ini berkembang dengan sangat pesat di abad ke-20, yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eopa ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan Sunda. 

Konghucu : Agama Konghucu berasal dari Cina daratan dan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa dan imigran. Diperkirakan pada abad ketiga Masehi, orang Tionghoa tiba di kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih menitik beratkan pada kepercayaan dan praktik yang individual. 




A. Fungsi-Fungsi Agama 

Tentang Agama 

Agama bukanlah suatu entitas independen yang berdiri sendiri. Agama terdiri dari berbagai dimensi yang merupakan satu kesatuan. Masing-masingnya tidak dapat berdiri tanpa yang lain. seorang ilmuwan barat menguraikan agama ke dalam lima dimensi komitmen. Seseorang kemudian dapat diklasifikasikan menjadi seorang penganut agama tertentu dengan adanya perilaku dan keyakinan yang merupakan wujud komitmennya. Ketidakutuhan seseorang dalam menjalankan lima dimensi komitmen ini menjadikannya religiusitasnya tidak dapat diakui secara utuh. Kelimanya terdiri dari perbuatan, perkataan, keyakinan, dan sikap yang melambangkan (lambang=simbol) kepatuhan (=komitmen) pada ajaran agama. Agama mengajarkan tentang apa yang benar dan yang salah, serta apa yang baik dan yang buruk. 

Agama berasal dari Supra Ultimate Being, bukan dari kebudayaan yang diciptakan oleh seorang atau sejumlah orang. Agama yang benar tidak dirumuskan oleh manusia. Manusia hanya dapat merumuskan kebajikan atau kebijakan, bukan kebenaran. Kebenaran hanyalah berasal dari yang benar yang mengetahui segala sesuatu yang tercipta, yaitu Sang Pencipta itu sendiri. Dan apa yang ada dalam agama selalu berujung pada tujuan yang ideal. Ajaran agama berhulu pada kebenaran dan bermuara pada keselamatan. Ajaran yang ada dalam agama memuat berbagai hal yang harus dilakukan oleh manusia dan tentang hal-hal yang harus dihindarkan. Kepatuhan pada ajaran agama ini akan menghasilkan kondisi ideal. 

Mengapa ada yang Takut pada Agama? 

Mereka yang sekuler berusaha untuk memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Mereka yang marxis sama sekali melarang agama. Mengapa mereka melakukan hal-hal tersebut? Kemungkinan besarnya adalah karena kebanyakan dari mereka sama sekali kehilangan petunjuk tentang tuntunan apa yang datang dari Tuhan. Entah mereka dibutakan oleh minimnya informasi yang mereka dapatkan, atau mereka memang menutup diri dari segala hal yang berhubungan dengan Tuhan. 

Alasan yang seringkali mereka kemukakan adalah agama memicu perbedaan. Perbedaan tersebut menimbulkan konflik. Mereka memiliki orientasi yang terlalu besar pada pemenuhan kebutuhan untuk bersenang-senang, sehingga mereka tidak mau mematuhi ajaran agama yang melarang mereka melakukan hal yang menurutnya menghalangi kesenangan mereka, dan mereka merasionalisasikan perbuatan irasional mereka itu dengan justifikasi sosial-intelektual. Mereka menganggap segi intelektual ataupun sosial memiliki nilai keberhargaan yang lebih. Akibatnya, mereka menutup indera penangkap informasi yang mereka miliki dan hanya mengandalkan intelektualitas yang serba terbatas. 

Mereka memahami dunia dalam batas rasio saja. Logika yang mereka miliki begitu terbatasnya, hingga abstraksi realita yang bersifat supra-rasional tidak mereka akui. Dan hasilnya, mereka terpenjara dalam realitas yang serba empiri. Semua harus terukur dan terhitung. Walaupun mereka sampai sekarang masih belum memahami banyaknya fungsi alam yang bekerja dalam mekanisme supra rasional, keterbatasan kerangka berpikir yang mereka miliki menegasikan semua hal yang tidak dapat ditangkap secara inderawi. 

Padahal, pembatasan diri dalam realita yang hanya bersifat empiri hanya akan membatasi potensi manusia itu sendiri. Dan hal ini menegasikan tujuan hidup yang selama ini diagungkan para penganut realita rasio-saja, yaitu aktualisasi diri dan segala potensinya. 

Agama, dengan sandaran yang kuat pada realitas supra rasional, membebaskan manusia untuk mengambil segala hal yang terbaik yang dapat dihasilkannya dalam hidup. Semua-apakah hal itu bersifat empiri-terukur, maupun yang belum dapat diukur. Empirisme bukanlah suatu hal yang ditolak agama. Agama yang benar, yang bersifat universal, mencakup segi intelektual yang luas, yang diantaranya adalah empirisme. Agama tidak mereduksi intelektualitas manusia dengan membatasi kuantitas maupun kualitas suatu idea. Agama yang benar, memberi petunjuk pada manusia tentang bagaimana potensi manusia dapat dikembangkan dengan sebesar-besarnya. Dan sejarah telah membuktikan hal tersebut. 

Kesalahan yang dibuat para penilai agama-lah yang kemudian menyebabkan realita ajaran ideal ini menjadi terlihat buruk. Beberapa peristiwa sejarah yang menonjol mereka identikan sebagai kesalahan karena agama. Karena keyakinan pada ajaran agama. Padahal, kerusakan yang ditimbulkan adalah justru karena jauhnya orang dari ajaran agama. Kerusakan itu timbul saat agama-yang mengajarkan kemuliaan- disalahgunakan oleh manusia pelaksananya untuk mencapai tujuan yang terlepas dari ajaran agama itu sendiri, terlepas dari pelaksanaan keseluruhan dimensinya. 



B. Pelembagaan Agama 


Sebenarnya apa yang dimaksud dengan agama? Kami mengurapamakan sebagai sebuah telepon. Jika manusia adalah suatu pesawat telepon, maka agama adalah media perantara seperti kabel telepon untuk dapat menghubungkan pesawat telepon kita dengan Telkom atau dalam hal ini Tuhan. Lembaga agama adalah suatu organisasi, yang disahkan oleh pemerintah dan berjalan menurut keyakinan yang dianut oleh masing-masing agama. Penduduk Indonesia pada umumnya telah menjadi penganut formal salah satu dari lima agama resmi yang diakui pemerintah. Lembaga-lembaga keagamaan patut bersyukur atas kenyataan itu. Namun nampaknya belum bisa berbangga. Perpindahan penganut agama suku ke salah satu agama resmi itu banyak yang tidak murni. 

Sejarah mencatat bahwa tidak jarang terjadi peralihan sebab terpaksa. Pemaksaan terjadi melalui “perselingkuhan” antara lembaga agama dengan lembaga kekuasaan. Keduanya mempunyai kepentingan. Pemerintah butuh ketentraman sedangkan lembaga agama membutuhkan penganut atau pengikut. Kerjasama (atau lebih tepat disebut saling memanfaatkan) itu terjadi sejak dahulu kala. Para penyiar agama sering membonceng pada suatu kekuasaan (kebetulan menjadi penganut agama tersebut) yang mengadakan invansi ke daerah lain. Penduduk daerah atau negara yang baru ditaklukkan itu dipaksa (suka atau tidak suka) menjadi penganut agama penguasa baru. 

Kasus-kasus itu tidak hanya terjadi di Indonesia atau Asia dan Afrika pada umumnya tetapi juga terjadi di Eropa pada saat agama monoteis mulai diperkenalkan. Di Indonesia “tradisi” saling memanfaatkan berlanjut pada zaman orde Baru.Pemerintah orde baru tidak mengenal penganut di luar lima agama resmi. Inilah pemaksaan tahap kedua. Penganut di luar lima agama resmi, termasuk penganut agama suku, terpaksa memilih salah satu dari lima agama resmi versi pemerintah. Namun ternyata masalah belum selesai. Kenyataannya banyak orang yang menjadi penganut suatu agama tetapi hanya sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan demikian terhadap kehidupan keberagaan di Indonesia sangat besar. Para penganut yang formalitas itu, dalam kehidupan kesehariannya lebih banyak mempraktekkan ajaran agam suku, yang dianut sebelumnya, daripada agama barunya. Pra rohaniwan agama monoteis, umumnya mempunyai sikap bersebrangan dengan prak keagamaan demikian. Lagi pula pengangut agama suku umumnya telah dicap sebagai kekafiran. Berbagai cara telah dilakukan supaya praktek agama suku ditinggalkan, misalnya pemberlakukan siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya tidak terlalu efektif. Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin berkurang tetapi kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di desadesa. 

Demi pariwisata yang mendatangkan banyak uang bagi para pelaku pariwisata, maka upacara-upacara adat yang notabene adalah upacara agama suku mulai dihidupkan di daerah-daerah. Upacara-upacara agama sukuyang selama ini ditekan dan dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur bagaikan tumbuhan yang mendapat siraman air dan pupuk yang segar. Anehnya sebab bukan hanya orang yang masih tinggal di kampung yang menyambut angin segar itu dengan antusias tetapi ternyata orang yang lama tinggal di kotapun menyambutnya dengan semangat membara. Bahkan di kota-kotapun sering ditemukan praktek hidup yang sebenarnya berakar dalam agama suku. Misalnya pemilihan hari-hari tertentu yang diklaim sebagai hari baik untuk melaksanakan suatu upacara. Hal ini semakin menarik sebab mereka itu pada umumnya merupakan pemeluk yang “ fanatik” dari salah satu agama monoteis bahkan pejabat atau pimpinan agama.

Konflik agama dalam masyarakat

Agama merupakan panduan moralitas manusia dalam menjalankan aktivitas sehari-hari untuk menemukan nilai-nilai kemanusiaannya. Dengan adanya kesadaran beragama, manusia akan memiliki kesadaran tentang betapa pentingnya kehadiran manusia lain. Manusia lain tersebut tentu memiliki berbagai perbedaan dan keunikan tersendiri. Mulai dari suku, agama, ras, maupun golongan. Perlu adanya sebuah kesadaran untuk menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) agama didefinisikan sebagai ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Dari pengertian tersebut sebenarnya agama dapat digunakan sebagai alat yang meciptakan sebuah keselarasan dalam masyarakat. Sehingga manusia dapat memenuhi kebutuhannya, baik jasmani maupun rohani.

Perbedaan memang menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari di negeri ini. Para founding fathers secara tepat merumuskan bentuk negara ini bukan menjadi negara agama atau negara sekuler yang tentunya akan menimbulkan berbagai konflik. Pilihan untuk menjadi negara non agama memberikan dasar-dasar yang kuat bagi bangsa ini untuk bersikap toleran, menghargai kepelbagaian, dan menjunjung tinggi kemerdekaan. Rumusan para founding fathers menjadi sebuah kecermatan dan kecerdasan yang digunakan untuk dapat memenuhi kebutuhan bersama akan adanya sebuah ketenteraman dalam bermasyarakat.

Keamanan dan kenyamanan dalam menjalankan agama hanya menjadi sebuah harapan ketika sebuah rezim berkuasa selama kurang lebih 32 tahun. Rezim otoriter dengan Soeharto sebagai pimpinannya, telah membatasi ruang kebebasan publik. Dalam menjalankan sebuah agama, masyarakat harus mengikuti pola rezim yang sedang berkuasa. Pilihan untuk menjalankan sebuah agama atau keyakinan di luar agama yang telah ditetapkan pemerintah mustahil untuk terjadi. Hal tersebut kemudian menimbulkan sikap intoleran, parokal, dan genthoisme dalam masyarakat yang kemudian berujung dengan adanya sebuah konflik. Kekerasan maupun konflik semacam ini tentu saja menciderai ketenangan kehidupan beragama di dalam masyarakat, dan di tingkat internasional, telah mencoreng wajah Indonesia yang sering mencitrakan diri sebagai negara yang menghormati kebebasan beragama.

Sikap buruk yang muncul pada masyarakat menciptakan sebuah ancaman tersendiri terhadap kelangsungan hidup beragama di negeri ini. Antara sesama penganut agama sarat dengan adanya pertikaian, permusuhan, bahkan pembunuhan. Lebih ironis lagi, agama dijadikan sebuah pembenaran untuk melakukan tindakan-tindakan yang sebenarnya tidak pantas untuk dilakukan tersebut.

Selain sebuah rezim otoriter sebagai penyebab terjadinya konflik, klaim kebenaran juga menimbulkan masalah tersendiri. Klaim kebenaran yang dimaksud adalah klaim kebenaran yang digunakan sebagai alat peneguh keyakinan dan landasan normatif peribadatan. Munculnya klaim kebenaran tersebut diakibatkan adanya sebuah kegelisahan penganut agama dalam menghadapi pilihan. Hal tersebut menciptakan sebuah ruang untuk menentukan pilihan berdasarkan pijakan berpikir masing-masing. Pilihan tersebut diterjemahkan berdasarkan interpretasi masing-masing individu maupun kelompok yang akhirnya menimbulkan sebuah ketidakharmonisan dalam masyarakat. Kebenaran yang semula berasal dari Tuhan Yang Maha Esa menjadi tersamarkan dengan adanya klaim kebenaran.

Klaim kebenaran yang ditandai dengan adanya perbedaan interpretasi dalam menghadapi suatu hal, akhirnya mengakibatkan polarisasi antarkelompok agama. Fenomena yang muncul di negeri ini adalah dengan munculnya Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Perbedaan yang muncul dalam bidang fikih semakin menjalar ke bidang politik. Fenomena serupa juga terjadi dalam agama Kristen yang kemudian melahirkan dua agama baru, yaitu Katolik dan Protestan.

Agama menimbulkan sebuah stratifikasi sosial dengan adanya proses pemahaman agama. Muncul pemegang otoritas teologis disatu sisi dan pengikut disis lain. Para pemimpin dalam berbagai agama secara eksklusif berperan sebagai penafsir tunggal terhadap ayat-ayat Tuhan maupun fenomena-fenomena yang muncul pada masyarakat. Kelompok pengikut diwajibkan untuk mengikuti apa yang telah diperintahkan oleh kaum pemimin agama.

Stratifikasi sosial yang terwujud dalam beragama juga berpeluang menimbulkan sebuah konflik. Interpretasi yang dimunculkan oleh para pemimpin agama diyakini oleh pengikut-pengikutnya sebagai kebenaran mutlak. Interpretassi yang berbeda-beda akhirnya melahirkan bermacam-macam kelompok eksklusif dalam agama tertentu. Hal tersebut mengakibatkan para pengikut mudah terombang-ambing diantara kebenaran interpretasi yang dimunculkan oleh para pemimpin agama. Akhirnya, masyarakat seakan kehilangan haknya untuk menentukan kebenaran sendiri.

Eksklusivitas dari para pemimpin maupun pengikut agama juga ditujukan untuk agama lain. Hal ini tentu juga berpotensi memunculkan sebuah konflik. Sebagai contoh, hal tersebut terjadi pada agama Yahudi. Bagi mereka tidak ada nabi setelah Nabi Musa AS. Nabi Isa AS maupun Muhammad SAW hanya dianggap sebagai tokoh sejarah dan bukan tokoh spiritual. Hal tersebut tentu menimbulkan permusuhan antaragama.

Selain beberapa hal penyebab konflik agama yang telah dibicarakan diatas, masih terdapat beberapa hal yang juga berpotensi menimbulkan sebuah konflik yang mengatasnamakan agama. Adanya sikap tertutup dan saling curiga antaragama juga menjadi sebuah hal yang berpotensi menimbulkan konflik. Agama semula ditujukan untuk menciptakan keserasian antar hamba Tuhan. Akan tetapi, dengan adanya sikap tertutup dan saling curiga antaragama, hal tersebut seakan sulit untuk diwujudkan. Kegiatan yang dijalankan oleh suatu agama dianggap sebagai sebuah ancaman bagi agama lain. Sebagai contoh, pendirian rumah ibadat dianggap suatu ekspansi yang akan merugikan agama lain. Pendirian ruma ibadat yang semula ditujukan sebagai sumber kebaikan dan kemaslahatan, malah menjadi sumber sengketa dan pertentangan.

Keterkaitan yang berlebihan terhadap simbol agama seperti Masjid dan Gereja juga dinilai sebagai sebuah sumber konflik. Masjid dan Gereja bukan lagi sebagai sebuah tempat sakral tetapi sesuatu yang patut untuk dibanggakan. Kebanggaan adalah sesuatu yang identik dengan kesombongan, maka jika kesombongan tersebut ternodai, konflikpun tidak dapat dihindari. Akibatnya, sikap saling membunuh muncul. Padahal, rumah ibadat yang dibangun tersebut ditujukan sebagai sarana belajar bagaimana untuk menjalin rasa cinta antar sesama hamba Tuhan.

Rumah ibadat, Masjid, dan gereja beralih fungsi menjadi lambang kesombongan manusia. Agama yang semula ditujukan sebagai sarana untuk menghayati iman dengan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi hanya digunakan semata-mata untuk mencapai kuantitas pemeluk dan alat pengemban kekuasaan. Para penguasa negeri ini telah menjadikan agama sebagai alat pelurus kebijakan. Tujuan agama yang telah terselewengkan menyebabkan penyebaran agamapun terselewengkan. Agama yang seharusnya digunakan untuk membangun kualitas iman, dijadikan alat pengumpul dan pembangun kekuatan. Akibat dari penghayatan yang salah mengenai agama seperti ini, manusia menjadi lebih mudah terprovokasi yang berujung pada sebuah konflik.

Berbagai masalah agama yang berpotensi menimbulkan konflik membutuhkan berbagai solusi untuk mengatasinya. Salah satu diantaranya adalah kita harus senantiasa mengembangkan sikap toleransi antar penganut agama. Penyelesaian konflik harus dimulai dari individu beragama tersebut. Harus ada sebuah kesadaran bahwa setiap agama memiliki teks dan ajaran yang terkadang tafsirnya masih ambigu, yang berakibat pada praktik dan keyakinan beragama yang berbeda. Membangun kehidupan bermasyarakat tanpa memandang adanya perbedaan agama merupakan modal yang sangat positif untuk menciptakan adanya sebuah perdamaian.

Dialog juga diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dialog bukan ditujukan untuk mempersamakan satu agama dengan agama yang lain. Diadakannya dialog ditujukan untuk mendapatkan suatu titik temu yang dimungkinkan secara teologis oleh agama yang kita anut. Dalam memahami agama lain hendaknya kita bersikap melihat fenomena dengan apa adanya. Suatu dialog dilakukan dengan perasaan rendah hati untuk membandingkan konsep-konsep agama lain. Diharapkan suatu keharmonisan dapat diciptakan dengan adanya dialog tersebut.

Peran tokoh agama adalah sebuah hal yang vital untuk mengantisipasi terjadinya sebuah konflik. Tokoh agama harus memberikan pemahaman keagamaan yang damai dan tidak menonjolkan perbedaan. Mereka harus menyatakan bahwa urusan kebenaran agama adalah urusan pribadi yang tak boleh diganggu siapapun. Mereka juga harus memberikan contoh sikap yang seharusnya ditunjukkan dalam menghadapi sebuah permasalahan.

Akar sebuah konflik tidaklah tunggal seperti didasarkan pada perbedaan keyakinan dan doktrin. Hal tersebut menuntut sebuah penyelesaian dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain. Perbedaan merupakan rahmat dari Tuhan. Jadi, kita harus menghormati adanya perbedaan tersebut. Dengan sikap saling menghormati diharpakan dapat terciptanya masyarakat yang aman dan tenteram tanpa adanya sebuah konflik.

PENDAPAT

Menurut pendapat saya, agama merupakan suatu hal yang sangat terpenting untuk di miliki oleh setiap manusia, karena agama berperan sebagai petunjuk bagi setiap umat manusia. dengan adanya agama hendaknya setiap umat manusia menjadi lebih baik dan menjauhi hal hal yang dilarang oleh setiap agama yang di anut oleh umat manusia itu masing-masing. Di indonesia sendiri terdiri dari 6 agama yang di akui oleh undang-undang dasar 1945, setiap pemeluk agama ini tentunya berbeda kepercayaan, dengan berbeda kepercayaan ini maka akan sangat mudah sekali terjadi kesalah pahaman antar umat beragama itu sendiri. kita sebagai umat pemeluk agama yang tinggal di negara bhineka hendaknya harus tetap berpegang kepada ideologi negara kita yaitu pancasila dimana semboyan pancasila yaitu Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda beda namun tetap satu juga.



REFERENSI

http://obyramadhani.wordpress.com/2009/11/20/agama-dan-masyarakat/
http://primadwianto.wordpress.com/2013/03/14/konflik-agama-di-indonesia/





You may also like

Tidak ada komentar: