ISD BAB XI "CONTOH KASUS"
/
0 Comments
BAB XI
CONTOH-CONTOH "KASUS" DARI SETIAP BAB
CONTOH-CONTOH "KASUS" DARI SETIAP BAB
BAB I "Pengantar Ilmu Sosial Dasar"
Polisi Tangkap
Pemerkosa Anak Dibawah Umur
Pemerkosan Anak di bawah umur
kembali terjadi. Kali itu musibah itu menimpa Kenanga, 12 tahun, bukan nama
sebenarnya di Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat. Pemerkosaan yang sudah empat
kali terjadi itu, baru dilaporkan korbannya setelah dia tidak diberi uang untuk
membeli mie instan oleh tersangka, Jumat (12/5) malam.
Junawan, 21 tahun, tersangka
kasus pemerkosaan ini mengaku telah memperkosa Kenanga sejak April lalu. Dia
merasa tergoda ketika menonton TV bersama di rumahnya. Kebetulan, Kenanga
tinggal satu atap dengan Junawan. Orangtua Kenanga mengontrak rumah di lantai
satu, milik orang tua Junawan. Dan,
Keluarga Junawan tinggal di lantai atas. Keluarga itu juga menggunakan akses keluar masuk melewati rumah di lantai satu itu.
Keluarga Junawan tinggal di lantai atas. Keluarga itu juga menggunakan akses keluar masuk melewati rumah di lantai satu itu.
Menurut Junawan, pemerkosaan
biasa dilakukan sekitar pukul 09.00 hingga 12.00 siang. Karena pada saat itu
rumah dalam keadaan sepi. Orang tua Kenanga sedang bekerja. Begitu pula dengan
orang tua Junawan yang berdagang daging pergi ke pasar, sedangkan dua adiknya
sekolah. “Pada awalnya dia (korban) memberontak, tetapi selanjutnya tidak.
Saya selalu mengancamnya bila berani mengadu,” ujar Junawan.
Seusai melakukan pemerkosaan,
Junawan selalu memberikan uang kepada Kenanga Rp 10 ribu. Jumat kemarin, kata
Junawan, Kenanga minta uang kepadanya untuk membeli mie instan. Karena tak
diberi, Kenanga mengadukan perbuatan Junawan kepada orang tuanya. Orang
tua Kenanga melaporkan kasus itu ke polisi. Petugas Polsek Cengkareng menangkap
Junawan dini hari ini di rumahnya. Kini pemuda pengangguran itu mendekam di sel
tahanan Polsek Cengkareng.
REFERENSI
http://el7fazrul7.wordpress.com/2013/12/
BAB II "Penduduk Masyarakat dan Kebudayaan"
KASUS MESUJI-LAMPUNG
MESUJI-LAMPUNG, BeritAnda - Ratusan
massa dari penghuni Register 45, yang menamakan diri kelompok Marga Jaya
dibantu dari kelompok Karya Jaya, dengan bersenjatakan parang, arit, golok dan
senjata lainnya, berkumpul di terminal Simpang Pematang. Entah apa tujuan
mereka, sehingga membuat resah dan ketakutan warga Simpang Pematang yang
melihat dan menyaksikan kerumunan massa tersebut.
Dari sumber informasi yang
didapat, bahwa aksi massa dipicu oleh sekelompok massa yang tidak disebutkan
identitasnya, memasuki wilayah mereka dengan menggunakan sajam dan senjata api
berjumlah 8 orang, sering melakukan pemalakan dan mengklaim lahan tanaman
singkong warga register, sehingga masyarakat pemilik lahan merasa geram dan
berencana akan mengepung dan menghakimi para pelaku tersebut.
Namun, berkat kesigapan dan gerak
cepat Kapolsek Simpang Pematang AKP Efendi Kotto dibantu oleh Anggota Polsek
Mesuji Timur, aksi massa dapat dicegah.
Massa digiring ke halaman
Mapolsek Simpang Pematang dan diberi arahan oleh Kapolsek untuk tidak melakukan
tindakan anarkis dan main hakim sendiri. “Serahkan kepada pihak keamanan untuk
ditangani sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” katanya.
Setelah mendapat penjelasan dan
pengarahan dari Kapolsek, massa ahirnya membubarkan diri kembali ke Register
45.
Trubus selaku tokoh warga di
kelompok Marga Jaya saat itu tidak tampak dalam kerumunan massa, dan pada saat
dikonfirmasi melalui telpon selulernya, sedang berada di Bandar Lampung, dan
tidak mengetahui tindakan anak buahnya. “Saya di Bandar Lampung mas, sedang ada
keperluan, saya tidak tahu dengan permasalahannya, nanti saya akan
hubungi saudara Budi selaku koordinatornya,“ ungkap Trubus kepada BeritAnda.com, Minggu
(3/3/2013) kemarin.
Konflik diatas hanya sebagian
kecil namun sering terjadi deregister 45 akibat kecemburuan sosial dari
masyarakata pribumi dan sekitarnya, DOB Mesuji sedang trend karena kesuburan
tanahnya dan pesatnya pembangunan diwilayah tersebut, dimana harga tanah
melejit bak harga emas, namun menyimpan sebuah misteri yang sulit untuk
dipecahkan.
Konflik lahan berkepanjangan
tanpa adanya penyelesaian yang jelas dari berbagai pihak dan seluruh pemangku kepentingan,
dipastikan akan menjadi triger (pemicu) meletusnya bom waktu. Itulah
Mesuji Lampung sebuah Daerah Otonomi Baru (DOB) yang resmi berpisah dari
kabupaten induknya Tulang Bawang, berdasarkan Undang - Undang Nomor 49
pada tahun 2008.
Daerah yang terkenal dengan
Register 45 Sungai Buaya seluas 43.100 hektar yang Hak Penguasaan Hutan Tanaman
Industri (HPHTI -red), secara resmi dikuasai oleh pihak perusahaan PT.Silva
Inhuttani Lampung ini, kini hanya tersisa kurang lebih 13 .000 hektar, sisanya
diklaim oleh para spekulan tanah dengan mengatasnamakan keadilan, kesejahteraan
bagi dan atas nama rakyat, yang saat ini menjadi primadona pendatang dari
seluruh penjuru Lampung. Bahkan dari luar Lampung yang ingin mencari
penghidupan yang lebih layak meskipun mereka tahu itu salah.
Tanah yang dulunya rimbun dengan
pepohonan acacia yang dikelola oleh perusahaan dengan udaranya yang segar,
mampu menampung 4000 liter air/pohon, dan mampu menyumbang devisa Negara
sebesar Rp29 miliar bagi Kabupaten Mesuji, namun saat ini hanya mampu
menyumbang Rp680 juta, dan kini yang terlihat hamparan kebun singkong dan
rumah-rumah pendatang yang mencari keadilan di negerinya sendiri.
Dan akibat dari semua itu yang
menjadi korban adalah masyarakat pribumi serta masyarakat transmigrasi yang
berada diwilayah Mesuji. Belum lagi kerawanan-kerawanan lain yang timbul akibat
ketidak tegasan pemerintah dalam menangani permasalahan Register.45.
Ketidak tegasan pemerintah dalam
melakukan upaya-upaya penyelesaian terhadap para penghuni di Reg.45 serta
pelaksanaan hukuman yang sangat ringan bagi para mafia tanah, menimbulkan
banyak konflik terhadap kehidupan bermasyarakat di bumi Mesuji.
Belum lagi konflik yang bakal
terjadi akibat kecemburuan sosial dari masyarakat pribumi Mesuji, yang
notabene adalah masyarakat adat asli penghuni Mesuji sejak jaman penjajahan
kolonial Belanda.
Masyarakat Mesuji adalah
masyarakat yang cinta damai, namun tegas dalam mengambil sikap apabila
bertentangan .Harapan terakhir semoga keamanan, ketentraman serta kedamaian di
bumi Mesuji akan tercapai. Dan kepada masyarakat yang menghuni Reg.45 dan
rakyat Mesuji (baik masyarakat transmigrasi dan masyarakat pribumi Mesuji),
bersatulah untuk membangun Mesuji tercinta, jangan sampai anak ayam mati di
lumbung padi, dan hujan batu di negeri sendiri. (Aan)
REFERENSI
http://www.beritanda.com/nasional/berita-nasional/keamanan/12140-kerusuhan-di-mesuji-hampir-terjadi-kembali-.html
BAB III "Individu Keluarga dan Masyarakat
DUNIA ANAK-ANAK
TERCEMAR NARKOBA
Narkoba tidak pandang bulu, siapa
pun bisa menjadi korbannya tak terkecuali anak-anak dan remaja. Dari 4 juta
pengguna narkoba, 70 persen di antaranya adalah mereka yang berusia 14 hingga
20 tahun. Mengapa hal ini bisa terjadi? Berikut laporannya.
Tak salah jika kita mengatakan
dunia anak-anak dan remaja adalah masa yang paling indah. Jika kita isi dengan
hal-hal yang menyenangkan namun dunia ini akan menjadi neraka ketika mereka
terjebak dalam lingkaran setan narkoba.
Lihat saja anak-anak ini rata-rata
mereka yang terlibat narkoba ini telah terlibat sejak usia dini. Awalnya mereka
menjadi korban kemudian secara kecil-kecilan menjadi pengedar atau kurir.
Biasanya anak-anak ini mulai mencoba menghisap ganja, kemudian berlanjut kepada
obat-obatan jenis psikotropika lainnya. Selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan
akan obat terlarang ini. Mereka bisa menjadi pengedar kecil-kecilan.
Keterlibatan anak-anak ini juga
dikarenakan mudahnya mereka mendapatkan barang-barang haram ini. Mulai dari
nongkrong-nongkrong di warung hingga mendatangi langsung sang bandar untuk
membelinya.Tak bisa dipungkiri anak-anak turut menjadi korban obat-obatan
terlarang. Ironisnya, mereka yang rentan terkena kasus narkoba ini biasanya
akibat pengaruh lingkungan seperti mereka yang biasa hidup di jalan dan
permukiman kumuh.
Menurut penelitian organisasi
perburuhan internasional sekitar 20 persen anak-anak di Jakarta terlibat dan
menjadi korban narkoba. Kendati data pertahunnya tersangka kasus anak-anak
menurun namun tetap saja mengkhawatirkan.
Selain kepolisian, orang tua
tentunya harus menjadi ujung tombak dalam perang melawan narkoba ini. Pasalnya
deteksi awal gejala pengguna narkoba bisa dilakukan oleh orang tua para
pengguna narkoba ini biasanya menunjukkan gejala menyendiri takut dengan orang
lain, mudah tersinggung dan sulit diajak bicara. Tentunya peran masyarakat
harus lebih besar dalam mencegah peredaran barang haram ini.
Opini : peredaran narkoba
semakin marak terjadi dan kebanyakan dari pemaikainya adalah remaja atau
anak-anak, bahkan ada yang sudah sejak dini menggunakan barang haram tersebut
dan biasanya dikarenakan oleh faktor lingkungan, keluarga dan masyarakat. Oleh
karena itu para orangtua harus bisa lebih dekat dengan anak-anak mereka dan
memberitahu mana yang baik dan tidak, tidak hanya itu di perlukan adanya
bimbingan disekolah mengajarkan mereka untuk memerangi narkoba dan masyarakat
juga harus bertindak agar peredaran narkoba menjadi berkurang.
Referensi
http://jekyjulian.wordpress.com/2012/11/13/contoh-kasus-individukeluarga-dan-masyarakat
BAB IV "Pemuda dan Sosialisasi"
Tawuran
Pemuda/Pelajar
Belum lama ini dunia pendidikan
di hebohkan dengan berita tawuran antar pelajar SMA di daerah jakarta selatan,
hal ini mengakbiatkan seorang pelajar tewas. tawuran pelajar ini merupakan
salah satu bentuk sikap negatif pemuda khususnya di kalangan pelajar yang
meresahkan masyarakat. Kurangnya pemahaman mengenai rasa bersosialisasi
antar manusia mengakibatkan seorang pemuda merasa dirinya tidak memerlukan
siapapun , dan merasa dirinya paling hebat, namun hal seperti itulah yang akan
membuat pemuda tersebut terlihat bodoh.
Para peneliti menyimpulkan bahwa
terdapat lima faktor yang menyebabkan terjadinya tawuran pelajar , yaitu:
Siswa yang terlibat tawuran
pelajar berasal dari keluarga yang tidak harmonis;
Siswa yang terlibat tawuran berasal dari sekolah yang berkualitas buruk dan berdisiplin rendah;
Siswa yang terlibat tawuran adalah siswa yang tingkat kecerdasan dan prestasi belajarnya rendah;
Siswa yang terlibat tawuran adalah pecandu narkoba; dan
Siswa yang terlibat tawuran berasal dari keluarga yang tidak mampu.
Siswa yang terlibat tawuran berasal dari sekolah yang berkualitas buruk dan berdisiplin rendah;
Siswa yang terlibat tawuran adalah siswa yang tingkat kecerdasan dan prestasi belajarnya rendah;
Siswa yang terlibat tawuran adalah pecandu narkoba; dan
Siswa yang terlibat tawuran berasal dari keluarga yang tidak mampu.
Jika kita sejenak menengok ke
belakang ketika masa penjajahan berlangsung di bangsa Indonesia , Pemuda
merupakan generasi penerus sebuah bangsa, kader bangsa, kader masyarakat dan
kader keluarga. Pemuda selalu diidentikan dengan perubahan, betapa tidak peran
pemuda dalam membangun bangsa ini, peran pemuda dalam menegakkan keadilan,
peran pemuda yang menolak kekeuasaan.
Indonesia merdeka berkat
pemuda-pemuda Indonesia yang berjuang seperti Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Sutan
Syahrir, Bung Tomo dan lain-lain dengan penuh mengorbankan dirinya untuk bangsa
dan Negara.
Sekarang Pemuda lebih banyak
melakukan peranan sebagai kelompok politik dan sedikit sekali yang melakukan
peranan sebagai kelompok sosial, sehingga kemandirian pemuda sangat sulit
berkembang dalam mengisi pembangunan ini.
Peranan pemuda dalam sosialisi
bermasyrakat sungguh menurun dratis, dulu bisanya setiap ada kegiatan
masyarakat seperti kerja bakti, acara-acara keagamaan, adat istiadat biasanya
yang berperan aktif dalam menyukseskan acara tersebut adalah pemuda sekitar.
Pemuda sekarang lebih suka dengan kesenangan
Selaku Pemuda kita dituntut aktif
dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, sosialisasi dengan warga sekitar. Kehadiran
pemuda sangat dinantikan untuk menyokong perubahan dan pembaharuan bagi
masyarakat dan negara.
REFERENSI
http://gfebriani18.blogspot.com/2012/10/pemuda-dan-sosialisasi.html
BAB V
"Warganegara dan Negara"
Perkawinan Campuran
yaitu dalam hal perkawinan
campuran antara negara asli indonesia dengan Negara Lain, dalam
perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”yang dimaksud
dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
Persoalan yang rentan dan sering
timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. UU
kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga
anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu
kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti
adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di
kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat
pengasuhan anaknya yang warga negara asing.
Definisi anak dalam pasal 1 angka
1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah : “Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan”.
Dengan demikian anak dapat
dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau
walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan
campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang
berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU
Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun
berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua
kewarganegaraan.
SUMBER
http://el7fazrul7.wordpress.com/2013/12/
BAB VI "Pelapisan Sosial dan Persamaan Derajat"
Kekerasan pada
Pembantu Rumah Tangga
Empat tahun lalu, Ika
(25) jauh datang dari Singkawang ke Bekasi agar bisa mandiri meski menjadi
pembantu rumah tangga. Namun, ia mesti mengalami nasib naas dianiaya
majikannya. Berikut penuturannya saat ditemui, Sabtu (5/8) di Bekasi
Tak pernah terbersit
dalam pikiranku bakal mengalami peristiwa pahit seperti ini dalam hidupku.
Sejak kecil, aku dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh kedua orang tuaku.
Meski hanya menjadi petani di Singkawang, Kalimantan Barat, mereka tak pernah
memarahi apalagi memukulku. Di keluarga, aku anak keempat dari tujuh
bersaudara, dan satu-satunya anak perempuan yang belum menikah. Kelima
saudaraku yang lain laki-laki.
Aku tak mau menjadi
beban bagi keluargaku. Meski hanya lulusan SD, aku ingin hidup mandiri dan
punya uang sendiri. Itu sebabnya, dengan tekad bulat aku minta izin pada orang
tuaku untuk mencari pekerjaan di kota, yang jaraknya satu jam perjalanan dengan
bus dari rumah. Aku diizinkan. Pada awal tahun 2003 itu, aku tinggal di rumah
kenalan bersama beberapa orang lain yang juga sedang mencari pekerjaan.
Kenalanku itu bukan agen tenaga kerja. Aku hanya menumpang di sana.
Sebulan kemudian,
datang Bu RY, wanita asli Singkawang yang kemudian menjadi majikanku. Bu RY
adalah teman si pemilik rumah. Dia sedang mencari pembantu untuk bekerja di
rumahnya di Bekasi. Ia menanyakan kesediaanku. Aku setuju.
Setelah sempat pulang
ke rumah orang tua untuk minta izin dan membawa baju seadanya, Februari 2003
aku berangkat ke Bekasi bersama Bu RY. Berdua kami naik kapal. Aku senang,
apalagi dijanjikan digaji Rp 200 ribu per bulan. Jumlah yang menurutnya cukup
besar.
KENYANG DIPUKULI
Setiba di rumah Bu RY, aku segera bekerja. Tugasku menyapu, mengepel, menanak nasi, mencuci baju, membersihkan rumah, dan mengasuh anak tunggalnya yang berusia sembilan tahun. Awalnya, Bu RY mengajariku cara memasak, mencuci dan lain-lainnya sesuai keinginannya. Aku menurut saja. Layaknya manusia, aku juga membuat kesalahan. Awalnya, Bu RY hanya menasihatiku.
Namun, lama-kelamaan dia mulai marah tiap kali aku dianggapnya bersalah. Salah memotong sayur saja, aku mendapat tamparan. Namun, kalau merasa tidak melakukan kesalahan, aku mencoba membela diri. Aku tak sadar, ucapanku itu justru menjadikannya makin marah dan makin getol menamparku. Dia juga semakin murka kalau aku berteriak kesakitan akibat pukulannya. Sejak itu, diperlakukan sekasar apa pun, aku hanya diam.
Sikap majikanku tidak berhenti, tapi sikapnya malah semakin menjadi. Bahkan, bila dia sedang kesal karena persoalan lain, akulah yang dijadikan sasaran. Rasanya aku kenyang dipukuli setiap hari. Seolah tak puas hanya menampar, dia juga mulai menganiayaku dengan cara lain. Punggungku dihajar dengan gagang sapu, sedangkan merang sapunya dilapkan ke wajahku.
Pernah saat dia sedang kesal, aku kembali dimarahi. Waktu itu aku sedang mencuci sambil berjongkok. Aku memilih diam saja karena tak ingin mendapatkan pukulan lagi. Tapi tetap saja dia kesal. Pantatku ditendang hingga aku jatuh terjerembab. Dia juga sering mencakar wajah, leher, dan tengkukku dengan kuku-kuku tangannya yang panjang. Bekas lukanya sampai sekarang sangat banyak dan tak hilang.
Sambil mengomel, dia juga sering mencubit telinga kiriku sampai berdarah. Lalu, tanpa menunggu hitungan jam, dia menampar telingaku yang masih berdarah itu. Rasanya perih bukan main. Sebab, belum juga sembuh, telingaku kembali dicubit dan ditampar berkali-kali. Sekarang, daun telingaku jadi cacat, berlipat-lipat dan penuh bekas luka.
Belum lama ini, waktu aku sedang menyeterika, Bu RY kembali mengomel. Aku dianggapnya lambat bekerja. Tiba-tiba saja dia mengambil seterika panas itu dan menempelkannya ke tangan kiriku. Sakitnya bukan main, tapi aku tak berani mengaduh. Sampai sekarang, bekas luka masih terpampang panjang di tanganku. Belakangan ini, tiap marah dia juga langsung mengambil gunting dan memotong rambutku seenaknya.
Itu sebabnya, rambutku jadi tak beraturan begini. Entah apa maksudnya melakukan hal itu. Suami Bu RY yang bekerja sebagai PNS di Polda Metro Jaya, sebetulnya tahu aku dipukuli, tapi tidak berbuat apa-apa. Malah, dia menyuruh istrinya untuk memukulku, bila aku dianggap jorok karena berbicara dengan orang lain. Tak hanya itu, anaknya pun gemar memarahi, menendang, dan memukulku dengan gagang sapu bila kuminta mengerjakan PR. Tapi Bu RY tak tahu.
SUMBER
http://kasuspembantu.blogspot.com/2007/08/ratapan-pembantu-disiksa-majikan.html
BAB VII
"Masyarakat Perdesaan dan Perkotaan"
Perbedaan Keinginan
Sebagai contoh, bagi masyarakat
perkotaan, ketika mereka ingin berlibur, pasti mereka ingin berlibur di suatu
desa yang sejuk dan damai, yang jauh dari kebisingan kota yang selama ini
bergulat dengannya. Begitu pula bagi masyarakat pedesaan, ketika merasa
pekerjaan di desa sudah tidak mencukupi lagi, pasti mereka ingin hijrah ke kota
untuk mengadu nasib yang lebih baik lagi. Di sini terjadi hubungan antara
keduanya. Ketika salah seorang dari kota pergi berlibur ke suatu desa,
mereka bertemu dengan penduduk di desa tersebut. Dia bisa saja membawa salah
satu dari orang desa tersebut untuk bekerja di kota karena ia melihat pekerjaan
di desa sudah tidak mendukung dan masih banyak pekerjaan di kota yang
menjanjikan
. Di sinilah peran masyarakat kota untuk membuat lapangan pekerjaan untuk orang-orang dari desa yang hijrah ke kota. Jika semakin banyak masyarakat desa yang hijrah ke kota, maka seharusnya semakin banyak pula lapangan pekerjaan yang harus disediakan. Tapi, jika lapangan pekerjaan yang disediakan sedikit, sedangkan masyarakat desa yang hijrah ke kota semakin banyak, maka justru akan terjadi peningkatan angka pengangguran di kota.
. Di sinilah peran masyarakat kota untuk membuat lapangan pekerjaan untuk orang-orang dari desa yang hijrah ke kota. Jika semakin banyak masyarakat desa yang hijrah ke kota, maka seharusnya semakin banyak pula lapangan pekerjaan yang harus disediakan. Tapi, jika lapangan pekerjaan yang disediakan sedikit, sedangkan masyarakat desa yang hijrah ke kota semakin banyak, maka justru akan terjadi peningkatan angka pengangguran di kota.
SUMBER
http://rizkifathur.blogspot.com/2013/01/contoh-kasus-masyarakat-pedesaan-dan.html
BAB VIII "Pertentagan Sosial dan Integritas Masyarakat"
Waspada Konflik
Pontianak –
Konflik lahan perkebunan kembali terjadi. Bupati Kubu Raya, Muda Mahendrawan
menuai kritikan karena dianggap mengintervensi kasus hukum. Sedangkan Muda
memandang persoalan tersebut lebih kepada pentingnya kondusivitas masyarakat.
“Dalam proses penyidikan yang
sedang berjalan di Polres Pontianak, Bupati melalui suratnya Nomor 188/0613/HK
dianggap melakukan intervensi,” ujar M Sadik Aziz, mantan Kepala Dinas
Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan (Disbuhutam) KKR saat bertandang ke
Graha Pena Equator, Kamis (28/7).
Intervensi yang dimaksud Sadik,
terjadi karena dalam surat tersebut Muda meminta agar proses penyidikan atau
proses hukum terhadap kasus PT CTB ditunda. Ia juga meminta agar kasus itu
dikoordinasikan dulu kepada bupati selaku pemerintah daerah. “Ini sangat naïf
sekali,” ujar Sadik.
Sadik yang menjabat sebagai Ketua
Forum Kelompok Pelestari Sumber Daya Alam (KPSA) Kalbar itu menceritakan secara
detail kisruh PT Sintang Raya dengan PT CTB.
Menurut Sadik, PT Sintang Raya
dalam melaksanakan aktivitasnya didahului dengan mendapat legalitas berupa izin
prinsip pengembangan perkebunan kelapa sawit dari Bupati Kabupaten Pontianak
(sebelum KKR terbentuk). Izin bernomor 503/0587/I-Bappeda tanggal 24 April 2003
itu berada di Kecamatan Kubu yang sekarang menjadi Kabupaten Kubu Raya.
PT Sintang Raya kemudian
mendapatkan izin lokasi bernomor 400/02-IL/2004 tertanggal 24 Maret 2004 dan
diperpanjang izin lokasi nomor 25 Tahun 2007 tanggal 22 Januari 2007 seluas 20
ribu hektar oleh Bupati Pontianak sebelum pemekaran. Setelah pemekaran, izin
lokasi tersebut dibuatkan sertifikat oleh PT Sintang Raya dengan sertifikat HGU
Nomor 4 atas nama PT Sintang Raya, tertanggal 5 Juni 2009 seluas 11.219 hektar
oleh Kepala BPN RI.
Selain PT Sintang Raya, di tahun
2007 Bupati Pontianak waktu itu, H Agus Salim, juga menerbitkan izin lokasi PT
CTB nomor 361 tertanggal 13 Desember 2007 seluas 19.950 hektar yang lokasinya
berada di sekitar izin lokasi PT Sintang Raya. Mengingat izin lokasi tersebut
berakhir 12 Desember 2010, Bupati Kubur Raya memberikan perpanjangan izin
lokasi nomor 9 Tahun 2011 tanggal 11 Januari 2011 dengan ketentuan berlaku
surut sejak 13 Desember 2010 dan berakhir 13 Desember 2011.
Dilanjutkan Sadik, setelah
dimekarkan, PT CTB melengkapi perizinan yang dimilikinya berupa izin Amdal
Nomor 380 tahun 2009, Izin Usaha Perkebunan (IUP) untuk perkebunan kelapa sawit
dan pabrik pengolahan kelapa sawit nomor 429 tahun 2009 tertanggal 9 Desember
2009 dengan luas sekitar 6.150 hektar yang berlokasi di Kecamatan Kubu dan
Kecamatan Teluk Pakedai. “Tapi IUP itu diproses oleh Kabag Hukum, bukan oleh
saya selaku Kepala Disbunhutam,” kesalnya.
PT CTB juga mendapat rekomendasi
gubernur tentang sesuai rencana makro pembangunan kebun di Kalbar nomor
525/50/Ekon-A tertanggal 31 Desember 2009. “Ketiga jenis surat perizinan
terakhir (Amdal, IUP, dan rekomendasi gubernur) yang diperoleh PT CTB adalah
cacat hukum sebagai akibat PT CTB telah melakukan aktivitas penanaman pada
lahan HGU PT Sintang Raya. Luas lahan yang ditanam itu diperkirakan mencapai
1.318,40 hektar, dan dikerjakan satu tahun sebelum izin tersebut terbit,” kata
Sadik.
Penanaman yang dilakukan PT CTB,
lanjut dia, juga bertentangan dengan amanah undang-undang nomor 18 tahun 2004 tentang
perkebunan. “Ini juga bertentangan dengan UU nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” tukas
Sadik.
Diberitakan sebelumnya, sebanyak
20 patok bertuliskan pengumuman status quo dipasang di areal 1300 hektar di
Desa Dabong, Kecamatan Kubu oleh tim penyidik Polres Pontianak, dibantu jajaran
Polsek Kubu bersama-sama tim BPN perwakilan Kubu Raya, Rabu (27/7).
Pemasangan pengumuman ini karena
areal tersebut masih bermasalah sehingga dinyatakan status qua agar areal tidak
diperbolehkan melakukan aktivitas apapun. Masyarakat sekitar lokasi areal
diminta turut mengawasi agar tidak aktivitas perkebunan di areal yang sudah
ditanami kelapa sawit seluas 500 hektar berusia kira-kira 2,6 tahun.
Areal itu ditanami sawit oleh PT
Cipta Tumbuh Berkembang (CTB) yang diduga tanpa izin usaha perkebunan. Di lain
pihak PT Sintang Raya mengklaim memiliki Hak Guna Usaha atas areal itu sejak
2008. (bdu)
SUMBER
http://pandanwulan.wordpress.com/2011/11/29/tugas-ilmu-sosial-dasar-3/
BAB XI "Ilmu
Pengetahuan Teknologi dan Kemiskinan"
Warga miskin Jakarta
akan punya dokter pribadi
Ada terobosan lainnya yang akan
dilakukan Pemerintah DKI Jakarta periode Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama
ini. Selain akan meluncurkan Kartu Jakarta Sehat pada 10 November, Jokowi ingin
warga miskin memiliki dokter pribadi. Sehingga penyakit yang diderita bisa
segera didiagnosis dan ditangani.
Caranya dengan melibatkan
mahasiswa fakultas kedokteran di beberapa universitas yang melakukan praktek
kerja nyata. "Ingin sekali setiap rumah tangga miskin punya dokter
pribadi," ujar Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, di
Balai Kota Jakarta, Sabtu 3 November 2012.
Dengan itu, penyakit yang
diderita warga miskin bisa segera diketahui. Jika penyakit yang diderita cukup
parah, warga pun bisa langsung dirujuk ke rumah sakit yang terdekat.
Selain itu, kata Basuki, pihak
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) membuat standar operasional prosedur
(SOP) untuk rujukan agar bisa diterapkan di RSUD milik DKI maupun puskesmas.
"Sehingga nantinya warga tidak menyerbu ke RSCM, tapi bisa disebar ke RSUD
dan puskesmas di Jakarta," ujarnya.
Kepala Dinas Kesehatan DKI
Jakarta. Dien Emmawati, mengatakan pihaknya bekerja sama dengan 11 universitas
yang ada di Jakarta. Antara lain Universitas Indonesia, Trisakti, Atmajaya, Universitas
Islam Jakarta, Yarsih, dan Tarumanegara. "Kami akan maksimalkan ko-as
(ko-asisten atau asisten dokter) di fakultas kedokteran yang ada di
Jakarta," ujarnya.
Menurut Dien, untuk memaksimalkan
program itu dibutuhkan 500 tenaga. Sebab ada sebanyak 1,2 juta warga miskin
yang harus dilayani. "Se-Jakarta butuh 500 ko-as, untuk melayani 1,2 juta
jiwa warga miskin," ujar dia.
SUMBER
http://www.tempo.co/read/news/2012/11/04/083439562/Warga-Miskin-Jakarta-Bakal-Punya-Dokter-Pribadi
BAB X "Agama dan
MAsyarakat"
Kesadaran Umat Islam
di Bandung masih lemah
Bandung -
Hasil survey Pusat Data dan Dinamika Umat (PDDU) Yayasan Daarul Hikam menyebut,
kesadaran dan kepatuhan umat Islam dalam beribadah di Kota Bandung masih lemah.
Sebanyak 600 responden dari 50 kelurahan dan 30 kecamatan di Kota Bandung, baru
47 persen di antaranya yang melakukan salat wajib.
"Kami
melakukan riset dengan kuisioner dan wawancara, hasilnya, untuk ibadah mahdhah
(khusus), ghairu mahdhah (umum), dan muamalah hasilnya memprihatinkan,"
kata Direktur PPDU Daarul Hikam, Sodik Mujahid, dalam ekspos profil umat Islam
Kota Bandung dan Peringatan Maulid Nabi, Kamis (24/1/2013).
Sodik
menyebutkan, baru 47 persen di antara responden yang melaksanakan salat wajib,
24 persen melaksanakan salat tepat waktu, 24 persen salat di mesjid, 18 persen
melaksanakan salat sunat rawatib,dan 5 persen yang solat tahajud. Sementara
untuk pelaksanaan zakat, kebanyakan masyarakat masih menyalurkan dengan cara
sendiri dibanding dengan melalui amil (penyalur zakat).
"Baru 22
persen yang biasa mengeluarkan zakat harta, dan 83 persennya bayar zakat
fitrah. Untuk penyaluran, hanya 5 persen yang melalui BAZ dan LAZIS). Sedangkan
71 persennya langsung ke masjid, panti yatim dan pengemis," kata Sodik.
Sementara
untuk puasa, baru 77 persen responden melaksanakan puasa wajib di bulan
Ramadhan, dan hanya 33 persen yang membayar utang puasa di bulan lain.
"Kemauan
dan kemampuan baca Al-Quran juga memprihatinkan berdasarkan survey, baru 56
persen saja yang bisa baca, dan 26 persennya yang mengerti tajwid,"
ungkapnya.
Lebih lanjut
Sodik mengungkapkan, selama ini di Bandung belum ada basis data untuk
pelaksanaan dakwah. Diharapkan data ini bisa menjadi awal dari pembenahan
dakwah di Kota Bandung.
SUMBER
http://bandung.detik.com/read/2013/01/24/144928/2151434/486/kesadaran-umat-islam-di-bandung-dalam-beribadah-masih-lemah
http://rizkifathur.blogspot.com/2013/01/contoh-kasus-agama-dan-masyarakat.html